QUO VADIS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH SETELAH KEMBALI KE KHITTAH Penulis : Syamsul Huda, S.H.,M.E.
Pertumbuhan lembaga keuangan syariah baik bank maupun Industri Keuangan Non Bank (IKBN) per Juli 2017 tercatat mencapai Rp 1,028,78 triliun atau USD 77,22 milliar, dibanding dengan industri keuangan konvensional maka posisi industri keuangan syariah market saat ini sekitar 7,95%, selebihnya masih didominasi oleh industri keuangan konvensional yakni 92,05 %. Secara history memang masih bisa maklumi karena industri keuangan syariah baru eksis sekitar tahun 1991 ditandai berdirinya Bank Muamalat atau baru 26 tahun, berbeda dengan industri keuangan konvensional yang sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia.
Tantangan pengembangan industri keuangan syariah nasional yang masih menjadi pekerjaan rumah bersama, kalau berdasarkan hasil kerja OJK dapat diidentifikasi menjadi 7 (tujuh) tantangan yakni : (1) Dukungan modal masih relatif terbatas; (2) Human Capital Issue; (3) Produk syariah inovatif yang dapat bersaing dan sesuai kebutuhan masyarakat; (4) Model bisnis, infrastruktur dan prosedur; (5) Penyediaan saluran distribusi yang efektif dan efisien; (6) Masih rendahnya literasi keuangan syariah; (7) Goverment Support.
Berdasarkan 7 (tujuh) tantangan di atas, yang menjadi konsen utama dalam industri keuangan syariah adalah masalah SDM atau Human Capital yang pada pada Roadmap Industri Keuangan Syariah di Indonesia bukan hanya fokus bagi pelaku industri, melainkan juga termasuk profesi penunjang terkait, antara lain : Notaris, Akuntan, Konsultan Hukum serta Hakim-hakim di Pengadilan Agama.
Permasalahan yang cukup fatal apabila profesi penunjang industri syariah ini tidak menguasai prinsip-prinsip ekonomi syariah, karena akibat ketidaktahuan profesi penunjang tersebut akhirnya proses bisnis yang dimaksudkan dijalankan dengan prinsip syariah menjadi kabur dan tidak tepat sasaran, prinsip syariah yang awalnya menghendaki kebersamaan dan tolong menolong bisa berubah menjadi pukul memukul layaknya praktek bisnis konvensional pada umumnya.
Berdasarkan pemaparan Edwin Syahruzad Direktur PT. Sarana Multi Infrastruktur (Persero) pada acara 3rd Indonesian Islamic Finance Forum 2016, disampaikan bahwa hambatan pengembangan bisnis di Indonesia saat ini yang menempati peringkat teratas adalah adanya praktek “Korupsi” setelah itu disusul diurutan kedua yakni adanya “ketidakefisienan birokrasi”, maka apabila dihubungkan dengan proses penyelesaian sengketa keuangan syariah, Penulis dalam konteks ini sependapat pada pemaparan tersebut, karena berdasarkan pengalaman penulis sendiri, pernah OJK pada awal tahun 2014 menerbitkan POJK Nomor. 1/POJK.07/2014 yang mengatur tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan, namun faktanya OJK sendiri tidak cukup mempunyai taring untuk mengawal berlakunya POJK tersebut, terbukti pada pengaduan untuk dimediasi menguap begitu saja karena banyaknya pengaduan, dan untuk mediasi yang menunjuk mediator khusus tentunta akan keluar lagi biaya-biaya yang tidak murah.
Adanya celah bahwa muara penyelesaian sengketa kembali ke jalur litigasi di Pengadilan Agama, menjadi pilihan masyarakat dari pada harus muter-muter di LAPS, toh di Pengadilan sebelum pemeriksaan perkara, mesti melawati lembaga Mediasi sesuai amanat Mahkamah Agung melalui Perma Nomor. 1 Tahun 2016 tentang Mediasi. Seperti kita ketahui bahwa saat ini hidup matinya pelaksanaan bisnis perekonomian syariah menjadi tanggung jawab penuh Pengadilan Agama, karena kompetensi absolut penyelesaian sengketa syariah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.93/PUU-X/2012, dikuatkan lagi dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Oleh karenanya Pengadilan Agama harus menyulap para Hakim-hakimnya untuk selalu update atau mengejar ketertingalan dalam mempelajari akad-akad syariah berdasarkan kebutuhan bisnis modern saat ini, sehingga hakim-hakim Pengadilan Agama tidak berfikir klasik yang hanya merujuk fiqih muamalat kontemporer, dengan tujuan turut serta mengsukseskan akselesari pertumbuhan bisnis keuangan syariah di tanah air.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis sendiri selama menangani sengketa perbankan syariah di Pengadilan Agama, majelis hakim tingkat pertama secara umum belum banyak yang berani masuk dalam klausul-klausul yang menjadi permasalahan dalam akad syariah, hal ini terlihat dari beberapa putusan Pengadilan Agama terkait ekonomi syariah yang tidak menyentuh pokok permasalahan, tetapi hanya berputar pada pertimbangan formal yang pada dasarnya hakim umum (hakim di Pengadilan Negeri) mungkin jauh lebih mahir karena lebih sering menangani perkara keperdataan hubungannya dengan hutang piutang.
Sebagai gambaran bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah di Pengadilan Agama masih konvensional, misal terhadap pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan pada Akad Musyarakah yang masih sama dengan pelaksanaan pada Akad Murabahah, yakni sepanjang oleh bank dapat dibuktikan sisa kewajiban, sudah jatuh tempo, dan sudah diberikan surat teguran kepada Nasabah, beberapa Pengadilan Agama tanpa berfikir panjang langsung mengeluarkan penetapan eksekusi terhadap jaminan-jaminan yang dimintakan oleh bank tersebut. Hal inilah yang Penulis yang dimaksud sebagai upaya penyelesaian sengketa masih konvensional, karena tidak ada beda dengan peran Pengadilan Negeri.
Idealnya Pengadilan Agama sebelum menerbitkan penetapan eksekusi, wajib mempertimbangkan dasar yang digunakan oleh Para Pihak, sebagai contoh pada Akad Musyarakah yang nota bene kerjasama antara Kreditur dan Debitur dalam usaha bersama, sehingga Pengadilan Agama benar-benar perlu meminta bukti kepada Kreditur bahwa kesalahan menjalankan usaha murni disebabkan oleh Debitur, sehingga dapat diketahui porsi eksekusi yang akan dilakukan oleh Pengadilan Agama atas permohonan bank syariah tersebut telah sesuai dengan porsi risiko yang disepakati para pihak.
Pada Akad Musyarakah ini Pengadilan Agama tidak bisa menerbitkan penetapan eksekusi jaminan Hak Tanggungan hanya mendasarkan atas permohonan bank bahwa telah terjadi wanprestasi / ingkar janji karena ada hutang Debitur yang tidak dibayar dan sudah jatuh tempo, karena Akad Musyarakah sebagaimana Fatwa DSN-MUI Nomor. 08/DSN-MUI/VI/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, cukup jelas bahwa Musyarakah merupakan pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dengan demikian, menurut hemat penulis bahwa setiap penetapan eksekusi hak tanggungan sekalipun yang akan dikeluarkan oleh Pengadilan Agama wajib hukumnya mencantumkan pertimbangan tentang kerugian proporsional masing-masing yang akan ditanggung Kreditur sebagai pemohon maupun Debitur sebagai Termohon. Pengadilan Agama dalam memeriksa gugatan perkara ekonomi syariah harus berani masuk lebih dalam untuk mengetahui kepatuhan lembaga keuangan (Kreditur) terhadap fiqih muamalah, dimana ketidakpatuhan terhadap fiqih muamalah tersebut, Pengadilan Agama harus tegas menegakkan hukum bahwa akibat dari ketidak patuhan terhadap Fiqih Muamalah berakibat pembatalan akad yang dibuat oleh Kreditur dan Debitur, tentunya pembatalan akad akan merugikan para pihak waktu maupun dana.
Sejauh ini Pengadilan Agama masih berdasar pada bukti-bukti formal yang diajukan oleh para pihak seperti Akad Pembiayaan Notariil, Sertipikat Hak Tanggungan, Surat Peringatan jatuh tempo, dan adanya history pembayaran angsuran, padahal pada prakteknya banyak sekali dokumen-dokumen proses pembiayaan yang perlu digali oleh Hakim untuk mengetahui keabsahan Akad Pembiayaan dimaksud. Hal ini masih dapat dimaklumi karena proses pemeriksaan perkara ekonomi syariah masih merujuk pada Hukum Acara Perdata dimana hakim bersifat pasif.
Menurut Prof Tim Lindsey, Melburne University (2013) yang disampaikan bahwa secara umum persepsi masyarakat kepada Pengadilan Agama sebagai institusi yang tidak korupdan memberikan pelayananyang bagus kepada pencari keadilan, dan persepsi tersebut diakui oleh Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Badan Peradilan Agama RI (BADILAG) Dr.H.M Fauzan, S.H (2017) masih tetap bertahan dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Hal ini dapat menjadi modal besar Pengadilan Agama ketika menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Dengan modal yang besar tersebut, Pengadilan Agama juga harus mempunyai ketegasan, keberanian, kemampuan, dan up date perkembangan bisnis ekonomi syariah serta permasalahannya seperti yang disampaikan penulis di atas, sehingga dengan ketegasan tersebut, Penulis yakin marwah Pengadilan Agama menjadi sangat disegani dan ditakuti oleh pelaku keuangan syariah baik kreditur maupun debitur yang nakal, sehingga seluruh pihak terkait keuangan syariah dapat dipastikan akan sangat berhati-hati menjalankan bisnis syariah dan menjaga betul makhosid syariah itu sendiri, dan buah dari kerja Pengadilan ini jelas akan sangat berpegaruh pada stabilitas bisnis syariah berjalan dengan benar, hasilnya dapat dipastikan pembiayaan bermasalah atau bad bank dapat diminimalisir dengan baik.
Kesimpulan dari yang Penulis sampaikan adalah, bahwa kewenangan absolut penyelesaian sengketa ekonomi syariah telah berada di pundak para Hakim Pengadilan Agama, namun prakteknya Hakim-hakim yang mendapat kepercayaan memeriksa perkara masih belum menyentuh pokok-pokok akad syariah yang menjadi dasar hubungan hukum antara Kreditur dan Debitur, sehingga pemeriksaan perkara yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Agama tidak jauh beda dengan yang dilakukan oleh Hakim pada Pengadilan Negeri. Oleh karena itu butuh komitmen dan inovasi dari Pengadilan Agama agar memberikan dapat memberikan nafas baru memberikan kepastian hukum dalam sengketa ekonomi syariah. wallahu alam bisowab.