a a a a a a a a a a
DSP Law Firm

Publikasi

Dapat Membatalkan Hak Tanggungan? Penulis : M.Akhbar Dewani, S.H.,M.H.' />

Apakah Restrukturisasi Akad Pembiayaan Syariah
Dapat Membatalkan Hak Tanggungan? Penulis : M.Akhbar Dewani, S.H.,M.H.

Restrukturisasi kredit/pembiayaan dalam industri perbankan adalah hal yang wajar, dimana pilihan tersebut merupakan solusi agar pembiayaan yang dilakukan tetap mempunyai NPL yang cukup kredibel bagi bank, disamping sebagai upaya bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya (Pasal 1 ayat 6 Pojk No; 12 /Pojk.03/2015). Dalam praktik perbankan, aktivitas restrukturisasi sudah barang tentu diikuti dengan adanya kesepakatan baru yang diikuti dengan pembuatan perjanjian baru atau perjanjian tambahan (adendum), dengan klausul dan kesepakatan berbeda.
Pada Bank konvensional tindakan tersebut bukanlah isu hukum baru dan krusial mengingat bank konvensional tidak mempunyai produk akad yang beragam, sehingga ketika terjadi restrukturisasi, pilihan perikatan yang dipergunakan para pihak masih sama dengan akad semula. Namun dapat berbeda halnya dengan perbankan syariah yang mempunyai banyak pilihan macam akad yang dapat ditentukan sesuai dengan kehendak dan kesepakatan para pihak yang dibuat pada saat melakukan akad restrukturisasi.
Pada saat terjadi restrukturisasi ini tentu akan berpengaruh terhadap semua intrumen hukum yang berlaku pada jaminan pembiayaan, tanpa terkecuali Hak Tanggungan (HT).

Sifat Accesoir Perjanjian Dalam Hak Tanggungan
HT harus mengikuti perjanjian pembiayaan pokoknya, agar sifat penjaminan dari kebendaan tersebut dapat dipergunakan atas hutang yang diterbitkan baik yang telah ada maupun akan ada. Pemberian HT didahului dengan janji untuk memberikan HT sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Sesuai dengan sifat accessoir HT, pemberiannya harus merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang ini dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. (Pasal 10 ayat 1 UU No 4 tahun 1996).
Utang yang dijamin pelunasannya dengan HT dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi HT diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan. (Pasal 3 UUHT UU No 4 tahun 1996).
Adanya HT tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya HTyang bersangkutan menjadi hapus juga. (pasal 18 ayat 1 UU No 4 tahun 1996).
Sebagai bentuk manifestasi kepastian hukum, sifat accesoir secara ketat juga dipraktikkan dalam perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, yang dijamin pelunasannya. Dalam hal piutang yang bersangkutan beralih kepada kreditor lain, HT yang menjaminnya, karena hukum beralih pula kepada kreditor tersebut.
Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Dalam hal piutang yang bersangkutan beralih kepada kreditor lain, Hak Tanggungan yang menjaminnya, karena hukum beralih pula kepada kreditor tersebut. Pencatatan peralihan Hak Tanggungan tersebut tidak memerlukan akta PPAT, tetapi cukup didasarkan pada akta beralihnya piutang yang dijamin. Dengan tidak mengabaikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, kesederhanaan administrasi pendaftaran Hak Tanggungan, selain dalam hal peralihan dan hapusnya piutang yang dijamin, juga tampak pada hapusnya hak tersebut karena sebab-sebab lain, yaitu karena dilepaskan oleh kreditor yang bersangkutan, pembersihan obyek HT berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, dan hapusnya hak atas tanah yang dijadikan jaminan. (penjelasan umum butir 8 UU No 4 tahun 1996).
Ketentuan-ketentuan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa disamping sifat accesoir yang dimiliki oleh HT senantiasa melekat, HT yang dibuat juga harus secara spesifik dan detil merujuk pada hutang yang ditunjukkan pada perjanjian tertentu, untuk menghindari makna yang ambigu dan multitafsir yang dapat berakibat pada kaburnya dari HT itu sendiri.

Antara Adendum dan Perjanjian Baru
Dalam kaidah hukum perdata ditentukan bahwa setiap perjanjian adalah berlaku layaknya undang-undang bagi para pihak yang menyepakati perjanjian tersebut (1338 KUHPer). Sementara dalam praktik perbankan banyak macam istilah penyebutan yang berkaitan dengan perjanjian seperti perjanjian adendum, amandemen, perubahan perjanjian, perjanjian pokok dan perjanjian aksesoris, dan perpanjangan perjanjian/kontrak.

Kamus besar bahasa indonesia mendefinisikan bahwa yang dimaksud perjanjian adendum adalah jilid tambahan (pada buku); lampiran, ketentuan atau pasal tambahan, misal dalam akta. Umumnya adendum ini dipergunakan ketika terdapat tambahan atau lampiran pada perjanjian pokoknya serta merupakan satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya. Karena sifatnya yang dapat berubah-ubah agar dapat mengikuti perkembangan bisnis yang dinamis atau dimaksudkan untuk merubah sebagian ketentuan dari perjanjian pokoknya, dengan tetap menyepakati klausul utama dalam perjanjian pokok.

Dalam industri perbankan syariah, perjanjian adendum biasanya dibuat ketika terjadi restrukturisasi pembiayaan, pembaruan hutang (novasi), subrograsi, cessie, atau dalam kondisi penempatan dana investasi kepada mitra dalam wujud perjanjian dengan skema channeling, servicing atau executing. Sementara perjanjian perubahan adalah perjanjian yang menyepakati adanya perubahan dari perjanjian awal baik sebagian maupun seluruhnya yang atas dasar itu berubah pula hak dan kewajiban para pihak.
Tentu sepanjang perjanjian tersebut memenuhi syarat objektif dan subjektif sebagaimana ditentukan pada pasal 1320 KUHPdt, maka perjanjian tersebut tetap mempunyai indepndensi mengikat terbatas pada perjanjian itu, termasuk ketika perjanjian tersebut disandarkan keberlakuannya pada perjanjian lain misalnya.

Konversi Akad dalam Restrukturisasi Pembiayaan
Terkait dengan restrukturisasi putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 118/ PDT/ 2015/ PT BTN memberikan referensi kepada para praktisi industri syariah di indonesia bahwa, akad terbaru hasil restrukturisasi tidak dapat dipergunakan dasar begitu saja dalam upaya melakukan eksekusi, dengan fakta bahwa akad pertama adalah murabahah dan akad restrukturisasi adalah akad musyarakah.

Fatwa DSN MUI NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 menyebutkan bahwa “bank syari’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba”. Sementara fatwa DSN MUI NO: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang musyarakah menentukan bahwa pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Tentu secara prinsip HT yang pada mulanya dipergunakan untuk menjamin pembiayaan dengan dasar “jual beli” berubah menjamin pembiayaan dengan dasar akad “usaha bersama” yang mempunyai konsekwensi tujuan syariah yang berbeda. Tentu perbedaan akad pada restrukturisasi ini sangat mungkin mengingat setidaknya ada 5 macam skema akad dasar yang berbeda dalam perbankan syariah pertama transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; kedua transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli, dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik; ketiga transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna’; keempat transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan kelima transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.

Oleh karena itu semisal HT yang dimaksudkan untuk menjamin hutang dengan akad murabahah hanya berlaku atas hutang murabahah semata, maka konsekwensinya tidak berlaku semisal pada akad restrukturisasi musyarakah walaupun masih dalam satu pembiayaan. Meskipun begitu hal tersebut tetap tidak menghapus hutangnya nasabah yang berhutang pada perbankan.

Dalam hal bank menghendaki HT juga berlaku pada akad pokok semula dan akad restrukturisasi, maka demi hukum berdasarkan ketentuan HT yang saat ini ada mengharuskannya juga mendaftarkan HT pada kantor pertanahan agar dapat menjamin hutang berdasarkan perjanjian sebelum dan setelahnya restrukturisasi.
Publikasi Apakah Restrukturisasi Akad Pembiayaan Syariah <br>Dapat Membatalkan Hak Tanggungan? Penulis : M.Akhbar Dewani, S.H.,M.H.
Head Office
Jakarta Office
Jl. Cempaka Putih Raya No. 13A, Cempaka Putih Barat, Cempaka Putih, Jakarta Pusat 10520
DKI Jakarta - INDONESIA

Surabaya Office
Komplek Andhika Plaza Blok B/4, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275
Jawa Timur - INDONESIA
Instagram
Facebook
Linkedin
© 2016 - 2024 DSP Law Firm. All Right Reserved.